JANGAN LUPAKAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: PERLUNYA PENERAPAN PENDIDIKAN BILINGUAL DI SEKOLAH

Liburan sudah berakhir, hari raya Idul Fitri begitu cepat terlewati. Para murid, siswa, dan mahasiswa sudah mulai bersiap-siap untuk kembali ke rutinitas mereka, yaitu sekolah: menuntut ilmu demi masa depan yang lebih baik. Para generasi muda saat ini dituntut untuk lebih kompeten, lebih pintar, dan tentunya berpikir global karena mereka adalah pemimpin di masa depan, dan bisa bersaing dengan Negara-negara lain, apalagi pada tanggal 31 Desember 2015 kemarin ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah diberlakukan. Semua orang diseluruh Negara ASEAN tentunya menyambut gembira akan hal ini.

ASEAN adalah singkatan dari Association of South East Asian Nations yang terdiri dari Indonesia, Thailand, Brunei Darussalam, Filipina, Singapura, Myanmar, Laos, Vietnam, Malaysia, dan Kamboja. Negara-negara ini saling bergandeng tangan dengan membawa Visi ASEAN 2020 yaitu One vision (satu visi), One identity (satu identitas), One community (satu komunitas) yang disepakati pada tahun 1997. Namun pada tahun 2003, Visi ASEAN ini dipercepat menjadi tahun 2015 dan disepakati 3 pilar yaitu ASEAN Economic Community (AEC) atau disebut juga Masyarakat Ekonomi ASEAN, ASEAN Political Security Community (APSC) atau Komunitas politik dan keamanan ASEAN, dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) atau Komunitas sosial budaya ASEAN. Sebenarnya kita cukup menyebut komunitas ini dengan sebutan ASEAN Community saja atau Komunitas ASEAN. Dan kenapa saat ini lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN? Hal ini dikarenakan pada tahun 2007 ditandatanganilah pedoman ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dimana karateristik dari komunitas ini untuk membentuk pasar tunggal berbasis produksi. Tentunya MEA ini akan membangun ekonomi yang merata yang terintegrasi penuh di negara ASEAN, dan tidak lupa bahwa komunitas ini tidak terlepas akan daya saing yang tinggi, sehingga kita harus mempersiapkan diri dalam hal ini agar kita bisa menjadi pemain, dan bukan penonton.

Berkaitan dengan pentingnya generasi muda di komunitas ASEAN ini, banyak sekolah yang mulai memberlakukan pendidikan bilingual, dimana penggunaan bahasa inggris menjadi lebih dominan, namun bukan berarti semua kelas menggunakan bahasa inggris, bahasa daerah pun masih digunakan karena ini bukan kelas internasional. Seperti layaknya di Thailand, pendidikan bilingual saat ini sangat popular dan merupakan pilihan terbaik bahkan sebelum MEA diberlakukan. Dan tentunya pendidikan ini jelas lebih murah dibandingkan dengan pendidikan di sekolah internasional. Dalam program ini, bahasa Thailand masih tetap digunakan dalam mata pelajaran sejarah Thailand dan Agama Buddha. Respon positif masayarakat Thailand terhadap MEA ini cukup mengesankan, dan ternyata bukan hanya di Kota Bangkok saja, namun di daerah-daerah pelosok Thailand pun ternyata sama. Banyak sekali bendera-bendera 10 negara ASEAN yang dipasang di sekolah-sekolah dasar, SMA, dan termasuk kampus dan organisasi lainnya. Dan tentunya juga para pendidik mulai memperkenalkan sepuluh bahasa ASEAN ini kepada didikannya.

Sehingga muncul dibenak, akankah kita, masyarakat Belitung, mempersiapkan diri akan MEA ini, atau biarkan saja kita terlena dengan kegiatan rutinitas? Sementara Negara lain mulai semangat-semangatnya ingin menyerbu Indonesia. Sebagai contoh, program bahasa Indonesia sudah menjadi mata kuliah favorit mahasiswa di kampus ternama di Thailand. Disisi lain, akankah kita juga terus merasa takut menggunakan bahasa Inggris? Sementara Negara lain mulai belajar bahasa-bahasa ASEAN lainnya.

Promosi wisata di Belitung saat ini boleh diacungkan jempol, warga Negara asing setiap tahunnya mulai banyak berdatangan ke Belitung. Agen travel dan pariwisata sepertinya sudah bekerja dengan baik, disamping itu juga kerja para tour guide (pemandu wisata) sudah professional. Namun tentunya keberhasilan pariwisata di Belitung bukanlah ditangan tour guide atau agen travel semata. Tapi jelas dari para generasi mudanya, karena mereka lah yang akan bersaing di MEA ini, sehingga dalam hal ini penekanan bahasa inggris sebagai komunikasi utama dalam pendidikan bilingual perlu diperkenalkan, karena 1-3 jam dikelas per minggu untuk belajar bahasa inggris tentunya tidak cukup seperti yang diberlakukan di sistem pendidikan saat ini. Disisi lain, program pemilihan bujang dayang belitong memang cukup baik demi menjaga tradisi dan pariwisata daerah setiap tahunnya. Namun tentunya hal ini tidak ingin kita lihat sebagai agenda rutinitas saja, yang seringkali figure menjadi faktor utama dibanding kualitas berbahasa, sehingga sangat sering terdengar di masyarakat bahwa bujang dayang belitong cuma sebatas penyambut tamu saja. Sebagai bujang belitong tahun 2007, tentunya saya juga mempunyai pengalaman ini dan ada baiknya untuk memperbaiki sistem yang ada.

Disisi lain, jika boleh mengintip sistem pendidikan di Fillipina, ternyata pendidikan bilingual ini sudah diberlakukan sejak sekolah dasar, tidak jarang juga banyak murid yang di sekolah internasional, sehingga jangan heran warga Filipina kebanyakan fasih berbahasa inggris. Dan bila melihat dunia kampus, ketika mahasiswa sedang kuliah dikelas, dan ternyata dosennya menggunakan grammar (tata bahasa inggris) yang salah ketika berbicara bahasa inggris, para mahasiswa tidak segan-segan untuk keluar dari kelas, tentu ini pukulan keras untuk para pendidik untuk lebih baik. Disamping itu juga, para mahasiswa filipina memiliki motto “tidak gaul jika tidak kuliah atau kerja di Amerika”. Sehingga wajar filipina sebagai sumber tenaga manusia demi memenuhi kebutuhan global, dan banyak dari mereka yang mendapatkan penghidupan yang layak dan bisa memenuhi kebutuhan keluarganya dengan mengirimkan sejumlah uang. Sementara di Thailand, hukuman 10 baht atau 4000 rupiah sudah diberlakukan di pendidikan bilingual jika salah satu murid menggunakan bahasa Thailand, bukan bahasa inggris.

Sehingga bisa dikatakan bahwa pendidikan bilingual ini jelas memberikan dampak positif. Namun untuk membentuk pendidikan bilingual ini tentunya membutuhkan persiapan, walau tidak mudah, namun harus dimulai dari sekarang, sebagai contoh para pendidik di sekolah harus bisa berbahasa inggris, kerja sama dengan kursus bahasa inggris di luar sekolah, atau bila perlu memanggil Native English speaker atau bule’ (tenaga asing) secara langsung seperti yang dilakukan banyak sekolah-sekolah di pedalaman Thailand saat ini. Tentunya membutuhkan pengorbanan yang lebih besar untuk hasil yang maksimal. Akan tetapi kembali ke pertanyaan awal, akankah kita terlena dan membiarkan isu ini berjalan dan menjadi penonton? Ataukah kita mulai sedikit-sedikit mempersiapkan diri dan bermain didalamnya?

 

This article was  licensed under Creative Commons Attribution 4.0 International (CC BY 4.0)

 

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *