“Sampah berserakan”, begitulah kata banyak orang bagi para pemudik di hari lebaran. Hal ini dikarenakan macet yang berkepanjangan, banyak pemudik yang makan dimobil dan membuang sampah di jalanan. Ironis memang, namun bukanlah macet yang disalahkan, tapi perilaku manusianya yang dipertanyakan. Karena sebenarnya hal ini bukan hanya terjadi di saat mudik saja, di hari-hari biasa pun sering terjadi yang bukan lagi merupakan kebiasaan, tapi sepertinya sudah menjadi suatu tradisi, baik dari mulai sampah dari luar mobil, di sungai, dan di jalanan. Fenomena ini memang klasik, dan menimbulkan dampak luar biasa. Namun walaupun sudah begitu banyak dampak yang ditimbulkan oleh sampah seperti dampak terhadap lingkungan (banjir, pencemaran lingkungan), dan dampak terhadap kesehatan seperti diare, typus, kolera dan lain-lain, hal ini belum bisa menimbulkan efek jera pada masyarakat karena semua ini berasal dari satu sumber, yaitu kebiasaan.
Kebiasaan adalah pengulangan sesuatu secara terus menerus atau dalam sebagian besar waktu dengan cara yang sama dan tanpa hubungan akal, atau sesuatu yang tertanam dalam jiwa dari hal-hal yang berulang kali terjadi. Jadi bisa dikatakan bahwa membuang sampah sembarangan atau pada tempatnya adalah suatu contoh kebiasaan.
Di Indonesia, membuang sampah pada tempatnya sepertinya masih jauh dari kebiasaan, dan bukan pula suatu keharusan, karena belum ada hukuman bagi yang membuang sampah sembarangan seperti yang diterapkan di Singapura, untuk makan dan minum ditempat umumpun tidak diperbolehkan di negeri singa ini, dan jika melakukan hal tersebut di denda 500 dollar singapura atau sekitar 6 juta rupiah. Sehingga wajar Singapura ini bersih dari sampah. Karena uang segitu bukanlah uang yang sedikit untuk dikeluarkan cuma gara-gara membuang sampah kecil saja.
Berkaitan dengan hal ini, pemerintah Indonesia melakukan strategi untuk meningkatkan rasa sadar masyarakat dalam membuang sampah, mulai dari pemasangan spanduk, poster, baliho, dan menambah jumlah tempat pembuangan sampah yang berwarna-warni untuk membedakan sampah organik dan organik. Strategi ini memang memberikan pengaruh, namun belum efektif. Masih banyak masyarakat yang membuat sampah sembarangan, karena hal ini kembali lagi kepada suatu kebiasaan.
Ada baiknya kita mengintip kebiasaan dari masyarakat Thailand. Selama 3 tahun di negeri gajah putih ini banyak sekali pengalaman dan kebiasaan yang saya pelajari, terutama dalam hal kebiasaan membuang sampah. Sebagai contoh, selama di Indonesia, jika pergi ke kantin, atau kantin sekolah saya cuma bisa meletakkan piring kotor di meja makan dan biarkan petugas kebersihan yang kemudian mengambil dan membersihkan piring kotor tersebut. Namun kebiasaan ini tidak terjadi di Thailand, jika habis makan dikantin, kita harus meletakkan piring ditempat piring kotor, dan buang sampah pada tempatnya. Jika dimobil, sampah diletakkan di plastik kemudian dibuang di tempat sampah yang disediakan. Sangatlah jarang menemukan sampah berserakan, apalagi di jalan. Sehingga sangat wajar Thailand begitu bersih.
Ternyata kebiasaaan masyarakat Thailand dalam membuah sampah ada rahasianya. Mereka belajar disiplin membuang sampah ini sejak masa tingkat dasar (TK) atau kindergarten. Murid-murid di TK ini sehabis makan harus meletakkan piring bekas makannya di tempat pengumpulan piring kotor. Sedangkan untuk murid-murid yang berumur sepuluh tahun atau lebih, artinya murid SMP atau SMA setelah makan mereka bukan cuma meletakkan piring kotor di tempat yang disediakan, namun juga harus mencuci piring yang mereka pakai. Peraturan ini dilakukan di sekolah pemerintah atau Public School, dan jarang dilakukan di sekolah swasta. Bagi murid-murid yang tidak mau mencuci piringnya, mereka dipaksa oleh gurunya untuk mencuci piring tersebut, atau jika masih tetap tidak mau, maka akan mendapatkan hukuman dari gurunya, seperti berlari keliling lapangan, menyapu, membersihkan toilet, atau menebas rumput dan hukuman-hukuman lainnya. Peraturan ini masih berlaku sampai sekarang, sehingga jika hal ini selalu diulang secara terus menerus dalam waktu yang lama, kebiasaan tersebut muncul dan tertanam di jiwa murid tanpa proses berpikir. Jadi wajar para mahasiswa yang ada di kampus pun rasa sadarnya lebih tinggi dalam membuang sampah ini karena mereka sudah dididik sejak kecil.
Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa untuk merubah suatu kebiasaan itu emang membutuhkan dorongan, dalam kasus ini paksaan. Murid-murid yang awalnya cuma disuruh mengumpulkan piring kotor dan akhirnya mau mencuci piring yang mereka makan tentunya membutuhkan proses, dan dimulai sejak kecil. Sehingga setelah dewasa, kebiasaan itu tetap ada, tanpa disuruh pun mereka akan melakukannya sendiri. Jadi sangatlah wajar Perilaku Hidup Bersih dan Sehat warga Thailand ini sangat bagus.
Oleh karena itu, ada baiknya kita mencoba mencontoh sistem pendidikan atau penerapan peraturan ini di Indonesia, sehingga tidak ada generasi-generasi pembuang sampah sembarangan lagi dimasa depan. Walapun masih banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi kebiasaan ini, namun jika rasa sadar ini sudah tertanam sejak kecil dan menjadi suatu kebiasaan atau karakter pribadi, butuh waktu yang lama untuk merubah kebiasaan tersebut.
Dan bagi generasi pembuang sampah sembarangan saat ini, emang ada baiknya untuk menerapkan sistem denda untuk memperkecil peluang pembuangan sampah semaunya. Namun hal yang perlu dipersiapkan adalah tim evaluasi yang tugasnya mengobservasi dan memantau masyarakat yang membuat sampah seenaknya. Di Thailand untuk pemantauan dan sistem control ini langsung dilakukan oleh polisi sendiri yang biasa sering dipanggil “The Trash Police” atau “The Garbage Police”.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa untuk membentuk kebiasaan membuang sampah pada tempatnya ini perlu dilakukan sejak kecil dan diterapkan di sekolah. Selanjutnya juga diperlukan evaluasi atau sistem denda bagi masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan.
This article was licensed under Creative Commons Attribution 4.0 International (CC BY 4.0)