Redi: The Man of “Maceet”

Kali ini ku akan bercerita tentang Fredi Susanto, dipanggil Redi, adalah mamang, saudara jauh tapi dekat, yang selalu berpenampilan keren, rupawan, dan terus bersemangat mengikuti alur hidup yang keras.

Kita bertemu saat diriku masih SMP tahun 2000an, tepatnya di Kampung Harapan. Dia orang asli Palembang, sok akrab, suka senyum gak jelas, dan suka menggerutu. Ya menggerutu di belakang pastinya. Kalau di depan bisa-bisa di “Sapu kan tangan” oleh kuyungnya (ayahku). haha

Kita seumuran dan menjalani hidup di pasar manggar. Memikul kentang, bawang, kol, 50-100 kilo itulah keahlian kita sejak jaman sekolahan. Kuli pasar yang siap menghantam kerasnya zaman. Ibarat dua sejoli yang tak terpisahkan. Duduk diatas truk bersama tumpukan bawang. Itulah cerita yang takkan terlupakan. Sayangnya itu hanya sekedar ingatan, kalau ada fotonya, aduhai, malunya bukan kepalang. Muka ganteng (katanya), tapi baunya daun bawang, jarang mandi, dan tidurnya sembarangan. Alamaaak…

Tiap malam kamis dan malam minggu kita selalu kebut-kebutan, cari celah bagaimana caranya bisa kelar duluan. Maklum si Redi mau bertemu gebetan, cerita cinta monyet di pantai Lalang. Sayangnya Redi lupa cuci tangan, tangan bekas cabe terus dibawa kencing bisalah dibayangkan. Terbakar itu barang!

“Maceeeet”, ya itu salah satu gelar kebanggaannya. Tak bisa tergantikan. Saking gantengnya suka lupa ingatan. Orang pesan 2 karung kentang, malah diantar 3 karung. Orang pesan 1 kilo cabe, dibuatnya setengah kilo. Tak ada Redi, tak ada keributan, malah kurang asyik, seni-nya kurang. Tidak jarang kita sering berantem menguji kekuatan. Maklum, anak muda, jiwanya berapi-api mempertahankan gelar. haha

Saking hebatnya sampo pun dijadikan minyak rambut. Kerasnya bombastis. Rambut ala anak gedungan celana jubrai. Jangan salah, banyak yang nanya rahasianya apa. Namun pas hujan datang berbusa itu kepala. Sampo mencair masuk mata. Bukan main!

Ya lagi-lagi Redi, kalau gak ngebut di jalan ya belum sah. Tak terhitung berapa kali masuk bandar. Namun tak membuatnya jera, itu hanyalah rangkaian seni yang indah, yang sulit dicerna untuk orang yang setengah-setengah. Hanya beliau dan Tuhanlah yang tahu isi kepalanya. Haha

Kita memang lulusan Pasar Academy, tapi kita mempunyai jalur cerita yang berbeda. Redi sekarang menjadi pelatih, middle manager, atau apalah di pasar manggar. Beliau tetap menjadi anak buah ayahku. Sungguh loyalitas yang patut di puja. SI Redi tetap setia bersama kehidupan pasar. Ya sesekali ku pun memantau, mengingat masa lalu yang indah.

Kini Redi sudah beristri (ntah istri ke berapa), inilah prestasi yang jelas tak bisa kulawan. Playboy zaman 2000an ternyata masih melekat sampai sekarang. Semoga agak kurang, karena beliau sudah di anugerahi satu anak generasi penerus beliau. Akankah anaknya ikut langkah bapaknya? Ya ditunggu chapter berikutnya.

Ya begitulah tentang si Redi, anak rantauan yang mengadu nasib di Belitung, tetap berelak elok memainkan siulan gendang. Banyak cerita yang belum dikisahkan, yang jelas saya belajar percaya diri dari beliau. Pede dulu, urusan lain belakangan. Termasuk gaya ambur adulnya yang terkadang perlu diterapkan. Gaul bro!

Kalau makan dan tidur bareng bertahun-tahun berjuang mengadu nasib. Tak mungkinlah terlupakan. Semoga beliau selalu sehat dan rezeki dilancarkan.

Fredi Susanto Cassanova 2000an.

Dari anak bawang

 

This is an open access article distributed under Creative Commons Attribution 4.0 International (CC BY 4.0)

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *